Friday, May 25, 2012

Perspektif Makna karakter dalam Fabel di dalam Konteks Berbeda


Perspektif Makna karakter dalam Fabel di dalam Konteks Berbeda

Dalam bahasa Indonesia, terminologi fabel dapat diartikan sebagai sebuah kisah cerita yang ditampilkan dengan karakter binatang dengan adanya pelajaran moral yang tersirat di dalamnya. Fabel dalam bahasa umumnya adalah dongeng binatang yang rata-rata berkisah tentang kerakusan, kesombongan, kemarahan, kemalangan, kasih sayang, dan lainnya dari suatu spesies binatang tertentu. Fabel umumnya berbentuk sastra narasi tak begitu panjang, hanya terdiri dari beberapa paragraf saja.
Fabel umumnya disisipkan sebagai materi pokok dalam pelajaran bahasa Indonesia maupun dalam pelajaran Pendidikan Kewarnegaraan dalam pancasila untuk tingkat sekolah dasar (SD). Fabel juga umum ditemukan dalam buku-buku dongeng pengantar tidur anak-anak yang sangat mudah ditemukan di deretan rak bagian anak-anak di toko buku. Umumnya para orang tua selalu mendongengkan sebuah cerita fabel bagi anak mereka sebelum mereka terlelap. Mereka memilih fabel untuk didongengkan karena selain ceritanya yang menarik bagi anak-anak, dan juga mengajarkan anak pendidikan moral sejak dini.
Saya ingat ketika saya masih bersekolah di tingkat sekolah dasar, guru-guru selalu membacakan fabel bagi para siswanya. Saya sampai sekarang masih tidak mengerti mengapa mereka selalu terlalu bersemangat saat membacakan cerita itu kepada kami. Cerita yang paling umum dan yang pertama kali saya dengar adalah tentang si kancil mencuri mentimun, dan cerita lomba lari si kancil dan si siput. Selalu, pelajaran yang bisa diambil dari dari kisah-kisah itu adalah kejahatan akan kalah melawan kebaikan, begitulah intisari yang saya dapat ketika mendengarkannya.
Berhubung karena imajinasi saya saat itu bukanlah seperti imajinasi anak kecil, saya sudah bisa mengetahui bahwa cerita itu adalah fiktif belaka yang sengaja dikarang khusus untuk anak-anak usia 4-7 tahun. Ini sangat berbeda dengan teman sebangku pada kelas 2 MIN yang selalu merasa si kancil benar-benar mencuri ketimun pak tani dan siput kalah berlomba lari dengan sang kancil. Ketika saya mengatakan fakta sebenarnya bahwa itu hanyalah cerita fiktif belaka, dia hanya tersenyum kecil sambil berlalu.
Cerita fabel inilah yang akhirnya membuat saya suka membaca buku. Ceritanya dikemas sangat apik dan menarik, serta ringan dibaca oleh anak-anak. Di kelas saya semua orang suka mendengarkan dongengan kisah fabel guru bahasa Indonesia, begitu pula dengan membaca cerita ini di buku. Beragam cerita fabel lainnya yang semakin variatif dan menarik saya temukan di majalah khusus anak-anak dan buku-buku lainnya.
Kemudian ketika saya menginjak kelas enam tingkat sekolah dasar, saat pelajaran bahasa Indonesia, sang guru dengan suara tegas dan dengan mimik yang serius mengatakan “kalian contohlah tikus. Tikus selalu menyimpan hasil makanan atau barang yang ditemukannya di sarangnya. Kita selalu dapat menemukan banyak barang di sarangnya. Kalian jangan contoh ayam, karena ayam selalu memakan langsung apa saja yang ditemukannya. Jadi kalian harus berhemat mulai dari sekarang”. Sayapun manggut-manggut mengerti dengan filosofi di balik isi fabel singkat yang diwakili oleh karakter tikus dan ayam yang disampaikan oleh guru tersebut.
Kemudian ketika saya mulai memasuki bangku SMP, saya mulai sering membaca kasus-kasus korupsi di koran, menontonnya di televisi, dan kadang mendengarkannya di radio. Kasusnya sama setiap harinya : pejabat Negara korupsi milyaran Rupiah. Nah, ikon yang paling sering muncul dalam kasus korupsi ini adalah tikus berdasi yang sedang menggenggam atau menggigit segepok uang yang bertanda Rupiah. Terlebih saya juga kemudian semakin yakin setelah mendengarkan lagu Iwan Fals yang berjudul “tikus berdasi” yang sempat hits di zaman tersebut. Tikus berdasi sambil menggenggam atau menggigit segepok uang diyakini sebagai ikon yang tepat dalam mewakili sang koruptor. Mulailah timbul pemikiran saya, kenapa sang guru bahasa Indonesia kelas 6 MIN saya dulu harus memberi citra positif pada ikon tikus dengan harapan agar muridnya dapat mencontoh tikus?, sedangkan tikus sendiri selama ini selalu dianggap sebagai ikon yang tepat dalam mewakilkan wajah para koruptor. Kenapa ayam itu harus dideskripsikan sebagai ikon buruk yakni sebagai figur yang suka boros, padahal ayam memberikan manfaat bagi manusia. Mulai dari kokokan ayam jago di pagi hari, telur, daging, bulunya dan lain sebagainya. Guru tersebut pasti punya perspektif berbeda dalam konteks yang berbeda pula dalam ikon sebuah karakter binatang dalam cerita fabel. Sejauh cerita ini masih memberikan pelajaran moral yang berharga bagi anak, tidak ada salahnya dalam mendongengkannya bagi anak-anak. Semoga moral anak bangsa tetap terpelihara dengan baik sesuai dengan norma agama dan adat istiadat.

No comments:

Post a Comment